Bus Way ya Bus why?

Bus Way” memang momok (baru) bagi Jakarta

(Sebuah penawaran solusi)

Program Bus Way DKI Jakarta yang diluncurkan 1 Februari 2004 dengan dalih mengurangi kemacetan lalu-lintas Jakarta, saat ini jelas sudah menjadi momok bagi warga Jakarta sendiri. Proyek infra struktur Bus Way yang kasat mata terlihat terlalu terburu-buru bahkan dipaksakan justru membuat kondisi lalu lintas Jakarta makin carut-marut. Dibanyak wilayah Jakarta yang dilalui oleh proyek ini, hampir tidak masuk akal, jalan yang hanya dua ruas dan yang sehari-hari padat pun tetap dibelah dua demi proyek ini. Maka apa lacur masyarakat Jakarta pun butuh lebih banyak waktu, tenaga, dan tentu saja BBM yang tidak murah untuk bisa beraktifitas sehari-hari.

Kita sudah melihat banyak solusi yang coba diterapkan oleh pemerintah DKI bagi persoalan lalu-lintas kota tapi semua tidak ada yang berhasil efektif. Misal saja pemberlakuan “three in one” pada jam-jam tertentu pada pagi dan sore hari, justru membuat jalur-jalur alternatif lain yang tidak diberlakukan “tree in one” bahkan sampai ke jalan-jalan linkungan perumahan yang sempit (“jalan tikus”) menjadi penuh sesak. Belum lagi pembatasan lajur kiri bagi sepeda motor yang dipatuhi pun tidak. Apa lagi kebijakan harus menyalakan lampu sepeda motor pada siang hari, hampir tidak ada korelasi dengan kondisi lalu-lintas Jakarta hari ini. Bahkan ada pemikiran untuk membatasi kendaraan peribadi yang berada di jalan pada ganjil atau genap nomor polisinya, atau pembatasan kendaraan pribadi pada tahun pembuatannya, walaupun masih diperdebatkan.

Masalah lalu lintas Jakarta hari ini sebenarnya hanyalah salah satu dampak negatif dari kekacauan koordinasi dan managemen sirkulasi manusia dan barang terhadap Jakarta dan kota-kota satelit di sekeliling Jakarta sejak era Orde Baru. Selain masalah tenaga kerja dan kependudukan. Namun kekacauan lalu-lintas lah yang paling terpampang dihadapan kita di jalan-jalan Jakarta setiap hari. Apakah manusia Jakarta memang tidak bisa patuh dan disiplin pada peraturan? Sama sekali tidak! Perilaku berlalu-lintas di Jakarta yang semakin keras karena selalu harus berkompetisi mendapatkan sejengkal-dua jengkal ruang di jalan untuk bisa cepat sampai pada tujuan adalah suatu kewajaran. Itulah hasil dari sistim pembangunan kota yang selalu hanya bisa membuat proyek-proyek penyelesaian persoalan lalu-lintas ketika masalah lalu-lintas makin mengganggu tanpa mau melihat yang menjadi penyebap dari persoalan itu sendiri secara lengkap. Alias kebijakan yang selalu gali lubang tutup lubang.

Berikut ini ada beberapa poin praktis (untuk mempersingkat penulisan – dengan meloncati segi analisa sosiologisnya) yang coba saya tawarkan yang menurut saya bisa menjadi solusi bagi persoalan yang sedang dihadapi oleh DKI Jakarta. Namun poin-poin berikut ini harus dijalankan sekaligus secara bersamaan dan tentu saja harus di-enforce lewat kebijakan pemerintah DKI Jakarta dan pemda-pemda wilayah yang berhubungan langsung dengan DKI Jakarta agar hasilnya bisa cepat dirasakan masyarakat. Poin-poin ini saya bagi dalam dua tahap.

Tahap pertama (prakondisi);

1. Menaikan biaya transportasi manusia (bukan barang) dari luar Jakarta (daerah) menuju Jakarta, dan menurunkan biaya transportasi manusia (bukan barang) dari Jakarta ke daerah.

2. Memindahkan semua stasiun bus antar kota – antar propinsi keluar wilayah DKI Jakarta, minimal dua kilometer dari perbatasan Jakarta, untuk memudahkan kontrol terhadap arus manusia dan barang yang masuk dan keluar wilayah DKI Jakarta. Seperti bandara Soekarno -Hatta sekarang.

3. Menaikan 100% atau lebih bagi pengesahan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta yang baru, setelah syarat-syarat yang lain yang dianggap penting terpenuhi.

4. Memperbanyak frekuensi pemantauan kependudukan di lingkungan RT maupun RW, juga operasi yustisi di tempat-tempat umum (di pasar-pasar dan jalan-jalan umum terbuka), serta disetiap tempat persinggahan aliran manusia antar kota antar propinsi seperti pelabuhan laut, stasiun kereta, setasiun bus dan juga bandara.

5. Mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi penyewaan rumah-rumah kos, hotel kelas melati dan rumah kontrakan di wilayah DKI Jakarta bagi penyewa yang bukan pemilik kartu tanda penduduk DKI Jakarta (tanpa PPN bagi penyewa pemilik KTP DKI).

6. Menaikan maksimal 50% tiket jalan TOL bagi kendaraan pribadi roda empat, tidak termasuk kendaraan jenis pengangkut barang, hanya yang menuju Jakarta saja (yang terhubung langsung dengan Jakarta), tidak termasuk jalan TOL dalam kota dan TOL lingkar luar.

7. Menaikan biaya mulai 100% atau lebih (progresif – menurut kelas dan tahun pembuatan kendaraan) bagi pengesahan kepemilikan kendaraan pribadi baru berplat B baik roda dua maupun roda empat.

8. Menaikan pajak tahunan kepemilikan kendaraan peribadi baik roda dua maupun roda empat berplat B mulai 100% dan meningkat lebih tinggi pada kendaraan yang lebih muda tahun pembuatan dan kelas kendaraan (progresif).

9. Menaikan biaya sewa parkir kendaraan bermotor roda empat dan roda dua pribadi (ber-plat hitam, tapi tidak termasuk jenis kendaraan umum dan pengangkut barang) pada pusat perbelanjaan atau perkantoran sebesar 200% atau lebih dari yang ada sekarang, dan 300% bagi kendaraan pribadi yang bukan ber-plat nomor Jakarta (harus dibedakan berdasarkan nomor plat kendaraan). Dengan catatan minimal 50% dari biaya sewa parkir kendaraan pribadi tersebut harus masuk ke kas pemerintah DKI Jakarta.

10. Mengenakan denda bagi kendaraan ber-plat nomor Jakarta yang pada saat pemeriksaan atau melakukan pelanggaran lalu-lintas yang pengemudinya bukan pemilik tanda pengenal (KTP) DKI Jakarta, atau sebaliknya. Hal ini juga untuk memastikan domisili kendaraan yang bersangkutan, bukan orangnya. Atau memastikan setiap kendaraan pribadi menyesuaikan domisili kendaraanya dengan domisili pemiliknya.

11. Mengenakan denda pelanggaran lalu-lintas 100% lebih tinggi bagi kendaraan yang bukan ber-plat nomor Jakarta (selain plat B) yang melakukan pelanggaran lalu-lintas di wilayah DKI Jakarta (bagi pelanggar berplat B berlaku denda normal)

12. Mengharuskan kendaraan bermotor pribadi ber-plat nomor Jakarta roda empat dan roda dua (bukan jenis kendaraan umum dan barang) hanya mengisi BBM selain premium (pertamax atau jenis bensin super lainnya – jenis yang tidak disubsidi pemerintah) di semua SPBU se-Jabodetabek. Tapi bagi kendaraan pribadi roda empat dan dua yang bukan ber-plat nomor Jakarta keharusan itu hanya berlaku jika mereka mengisi BBM di SPBU di wilayah Jakarta saja, di luar wilayah Jakarta mereka bisa kembali mengisi jenis premium.

13. Mengontrol secara ketat penjualan kendaraan bermotor baru roda dua maupun roda empat di dalam wilayah DKI Jakarta dari tempat-tempat perakitan kendaraan bermotor atau importir, dengan memperhitungkan jumlah ideal kendaraan bermotor terhadap jumlah luas ruas jalan-jalan di dalam DKI Jakarta. Jika jumlah ideal sudah terpenuhi maka perakitan/importir kendaraan bermotor harus menjualnya keluar wilayah DKI Jakarta atau diharuskan untuk meng-export produksinya. Kecuali dikenakan biaya yang tinggi untuk dapat memiliki surat kepemilikan kendaraan bermotornya. Seharusnya Pemda DKI tidak takut kehilangan pendapatan dari pajak penjualan kendaraan baru (roda empat dan roda dua) karena pendapatan daerah bisa digantikan dengan mekanisme yang berujung pada overload traffic di jalan-jalan DKI Jakarta. Keadaan saat ini adalah hasil yang logis dari ketidaktegasan pemda DKI soal ini.

14. Memindahkan semua perusahaan usaha padat karya baik BUMN atau swasta (selain institusi pemerintahan) yang memiliki jumlah karyawan yang signifikan (mungkin 300 orang keatas) keluar wilayah DKI Jakarta.

Dari keempatbelas poin pada tahap pertama itu akan terlihat bahwa pemerintah DKI Jakarta tidak melarang siapapun untuk beraktifitas dan tinggal di DKI Jakarta dan memiliki kendaraan pribadi asalkan memenuhi ketentuan yang diberlakukan. Pada saat itu masalah kependudukan, kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dan faktor dinamika mobilitas yang memang penting saja yang akan terjadi di Jakarta. Mekanisme pelaksanaan bisa saja disempurnakan disana-sini, namun substansi sebaiknya tidak dirubah seperti poin-poin di atas.

Dari poin-poin itu terlihat jelas kas pemerintah DKI akan banyak menerima pemasukan. Selintas poin-poin itu terlihat akan memberatkan warga DKI Jakarta pemilik kendaraan bermotor pribadi yang sudah ada saat ini. Sesungguhnya tidak seperti itu, karena poin-poin itu akan membentuk mekanisme dan sistim administrasi daerah yang akan memaksa terbentuknya kepemilikan kendaraan pribadi dan mobilitas masyarakat yang memang perlu saja. Kira-kira hanya satu tahun setelah poin-poin tahap pertama dijalankan, hal-hal itulah yang kemudian akan memberikan energi dan momentum bagi tahapan berikutnya yang kemudian bisa dan harus dilakukan.

Tahap kedua (actions),

1. Menghilangkan atau memindahkan jenis transportasi umum berukuran kecil dan sedang seperti mikrolet (angkot), bajaj, dan metro mini keluar wilayah DKI Jakarta maksimal hanya bersinggungan dengan kendaraan umum dalam kota sampai feeder terluar wilayah jakarta. Atau tetap menggunakan stasiun-stasiun bus antar kota yang sudah ada tapi jenis kendaraan umum mikrolet, bajaj, dan metro mini harus memiliki rute trayek yang lansung mengarah ke luar kota (bukan ke dalam kota). Hal ini untuk mengurangi jumlah potongan-potongan kecil kendaraan bermotor yang merayap di jalan-jalan. Dan digantikan dengan jenis bus kota seukuran bus Trans Jakarta sekarang (memuat penumpang lebih banyak dalam satu bus kota dibanding beberapa potong angkutan umum kecil yang merayap sekaligus bersamaan di jalan-jalan ibu kota) dengan jumlah dan rute yang tentu saja harus dikontrol lebih ketat (tidak banyak bersinggungan paralel antara satu trayek dengan lain). Tenaga supir untuk itu dapat juga diberikan sebagai  kompensasi pekerjaan bagi supir-supir transportasi umum ukuran kecil dan menengah yang disingkirkan tadi.

2. Batalkan kebijakan tree in one. Pada tahap ini kebijakan tree in one justru akan menghambat terbentuknya suatu keseimbangan baru dimana berlalu-lintas adalah suatu yang penting bagi dinamika sosial-ekonomi (harus didahulukan), tapi juga untuk memiliki kendaraan pribadi adalah suatu yang mahal (pilihan), maka pada keadaan seperti itu transportasi umum akan cendrung menjadi pilihan yang lebih utama bagi sebagian besar masyarakat DKI Jakarta (lebih murah, karena tersubsidi oleh pengguna kendaraan bermotor pribadi ber-plat nomor Jakarta dan kendaraan bermotor pribadi bukan ber-plat nomor Jakarta yang selalu beraktifitas ke Jakarta).

3. Batalkan proyek bus Trans Jakarta (Bus Way). Buka kembali jalur Bus Way dan kembalikan fungsi bus Trans Jakarta seperti bus kota reguler lainya ke sebelah kiri jalan raya. Lebih-lebih proyek bus way yang asal mencontek sistim transportasi kota Bogotta – Colombia ini padahal nyata-nyata keadaan sosio-ekonomi masyarakat kotanya jauh berbeda dengan DKI Jakarta. Pada tahap ini jelas sistim Bus Way tidak diperlukan lagi. Karena tanpa itu pun kondisi lalu-lintas di jalan-jalan DKI Jakarta juga secara alami akan ‘terpaksa” tersesuaikan menjadi lebih baik.

4. Pastikan semua pemilik perusahaan angkutan umum baik BUMN maupun swasta yang beroperasi di wilayah Jakarta tidak memberlakukan sistim setoran kepada para supirnya tapi sistim gaji. Hal ini untuk menghindari efek “kejar setoran” di jalan-jalan yang kerap membuat para supir tidak disiplin dan membuat lalu-lintas menjadi tidak rapih (mungkin seperti supir bus Trans Jakarta sekarang). Namun harus dipastikan selain supir-supir itu sendiri memenuhi syarat sebagai supir bus kota (karena sebagian dari mereka berasal dari supir-supir kendaraan angkutan umum kecil dan sedang) dan tentu saja harus memiliki KTP DKI Jakarta.

5. Pastikan ditetapkan pemberhentian bus kota yang tertanda pasti dan hanya bisa diberhentikan pada titik yang sama maksimal dua bus kota (karena trayek bus kota yang berbeda hanya bersinggungan secara paralel hanya pada jarak yang sangat pendek atau maksimal 2 kilometer)

6. Kembalikan lahan hijau yang sempat dirusak oleh jalur proyek Bus Way saat ini disemua ruas jalan DKI Jakarta. Ini tentu saja akan mengembalikan kehijauan dan kerapihan kota. Apa lagi tangga shelter trans jakarta yang panjang-panjang seakan merusak estetika kota.

7. Kembalikan kehormatan pejalan kaki dan pesepedah dengan memberikan jalur trotoar dan pedestrian yang memadai disetiap sisi kiri-kanan jalan raya. Dari sini disisi lain akan menghidupkan budaya bersepeda yang lebih sehat dan tanpa polusi. Karena pada saat itu kondisi lalu-lintas jalan-jalan Jakarta sudah  “terpaksa” tidak lagi seperti saat ini.

Tahap kedua adalah poin-poin dimana pemerintah DKI Jakarta harus melakukan “aksi lapangan” dan mengandung “sedikit” pengeluaran anggaran setelah pembentukan prakondisi pada poin-poin tahap pertama tadi yang lebih dulu menerima banyak masukan pendapatan dari warga masyarakat DKI Jakarta yang “mampu” yang ingin tetap nyaman berada pada kendaraan pribadinya dan kendaraan yang bukan berplat B yang beraktifitas di DKI Jakarta. Namun pada ujungnya adalah terjadinya suatu keseimbangan dimana masyarakat DKI Jakarta yang “mampu” tetap nyaman (dengan kendaraan pribadinya), tapi juga transportasi umum bagi kebanyakan masyarakat kota juga menjadi terbangun dan sama nyamanya.

Dalam hal ini tentu saja pemerintah DKI tidak bisa “action” sendirian tanpa koordinasi dengan kepala daerah kota-kota Bodetabek dan tentu saja DPRD DKI. Alhasil pemerintah pusat harus pula menjembatani karena terkait pula dengan aliran manusia antar daerah dan otonomi daerah, namun dengan penekanan “membebaskan” lebih dulu persoalan-persoalan didepan mata yang dihadapi oleh Jakarta sebagai Ibu Kota negara dan pusat pemerintahan negara. Dan tentu saja akan terbentuk efektifitas dan efisiensi dinamika ekonomi di Jakarta. Tentu saja hal ini bisa terjadi jika Pemda DKI dan DPRD DKI tidak mudah “terbeli” oleh pihak-pihak yang mungkin akan dirugikan penjualan produknya. Demi terbentuknya kota Jakarta yang serba efisien dari segi mobilitas warga kota, biaya BBM dan waktu, termasuk kontrol terhadap tingkat polusi emisi kendaraan dan polusi suara kendaraan (tingkat kebisingan).

Menurut saya ini adalah solusi yang paling realistis yang paling murah. Dibandingkan dengan keharusan membangun lagi Mono Rail  (saat ini tiangnya saja tidak sanggup dilanjutkan) atau apa lagi Subway yang berdana besar dan pasti harus berhutang. Belum lagi efek gangguan pada saat pembangunannya – seperti halnya proyek Bus Way sekarang. Padahal itu pun belum tentu menjawab persoalan. Maka untuk solusi yang saya tawarkan ini tidak perlu lagi berhutang alias murah (karena akan terjadi subsidi silang antara pengguna kendaraan pribadi dan mobilitas manusia yang bukan warga DKI Jakarta yang beraktifitas di DKI Jakarta) , tapi juga efektifitasnya akan langsung bisa dirasakan oleh atmosfer kota Jakarta ketika poin-poin tahap pertama tadi mulai diberlakukan.

Perbedaan tulisan diatas dengan jika proyek Bus Way tetap dianggap yang terbaik oleh Pemda DKI Jakarta:

Tulisan diatas mendorong (mungkin tepatnya memaksa) prakondisi secara legal-administratif terhadap penggunaan ruang wilayah DKI Jakarta. Yaitu membentuk pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi hanya kepada yang benar-benar mampu secara ekonomi, namun infrastruktur jaringan transportasi umum akan tersubsidi menjadi lebih baik untuk warga bukan pemilik kendaraan pribadi.

Kondisi saat ini adalah; mendorong (mungkin tepatnya memaksa) prakondisi secara fisik terhadap penggunaan ruang wilayah DKI Jakarta . Yaitu membangun infrastruktur transportasi umum yang sama sekali baru di ruang yang sama ketika kepadatan lalu-lintas memang sudah menjadi masalah. Harapannya adalah, terutama kepada para pemilik kendaraan pribadi dapat beralih kepada transportasi umum yang baru tersebut (Bus Way).

Tulisan diatas jelas dapat langsung memberikan dampak kepada pemilik kendaraan pribadi dan kepada yang berniat untuk memiliki kendaraan pribadi untuk berpikir dua kali dibandingkan jika mereka menggunakan transportasi umum. Padahal pada saat yang sama lonjakan kepemilikan kendaraan pribadi baru di wilayah DKI Jakarta akan mulai menurun paling tidak beralih ke luar kota, dan transportasi umum akan langsung tersubsidi oleh kepemilikan kendaraan pribadi di wilayah DKI Jakarta.

Kondisi saat ini; adalah pemaksaan penggunaan ruang kota yang sama oleh Bus Way pada saat kondisi lalu-lintas memang sudah padat. Padahal pada saat yang sama juga, kepemilikan kendaraan pribadi di Jakarta terus tumbuh luar biasa (ribuan unit) setiap bulannya. Pertumbuhan kendaraan pribadi terus terjadi seakan-akan ruang wilayah Jakarta benar-benar dalam keadaan normal untuk dapat menampung semuanya meskipun bukan pada jam-jam sibuk kota. Hasilnya adalah kepadatan lalu-lintas yang semakin tidak terkendali. Kepadatan lalu-lintas yang tidak terkendali ini sebagian justru disumbang oleh pembangunan proyek Bus Way itu sendiri sejak awal tahun 2004 yaitu melonjaknya kepemilikan kendaraan bermotor roda dua, karena dianggap sanggup meliuk-liuk di jalan-jalan Ibu Kota yang semakin padat – dan juga semakin sempit oleh jalur Bus Way.

Proyek Bus Way adalah sebuah praktek solusi yang sudah dijalankan tapi juga sambil terus dipikirkan, Apakah betul ini sebuah solusi bagi masalah lalu-lintas Jakarta atau bukan ? Apakah wajar ketika sebuah proyek yang disebut Bus Way yang sudah “mengobrak-abrik malang-melintang begitu banyak ruang jalan dan jalur hijau Jakarta masih harus dipikirkan akan menghasilkan apa nantinya? Sungguh sebuah pekerjaan ceroboh dan sangat tidak intelektual! Akan berhasilkah Bus Way?

Tersedia banyak indikator yang mengarahkah kalau proyek Bus Way adalah sebuah proyek yang gagal.

1. Proyek Bus Way sama sekali tidak lebih dulu melakukan prakondisi terhadap keadaan lalu-lintas Jakarta secara keseluruhan. Kemunculan jalur Bus Way awal tahun 2004 sekonyong-konyong hanya terasa seperti perampasan ruas jalan warga kota yang sehari-hari digunakan secara tiba-tiba. Alhasil jalan yang sudah padat semakin terbagi oleh adanya jalur Bus Way. Filosophinya terlalu terasa sederhana: “ayo, dari pada macet lebih enak naik Bus Way tidak ada macetnya..”

2. Tidak macetnya Bus Way ternyata juga cuma tinggal tunggu waktunya. Sejak tanggal 5 November 2007 Jalur khusus Bus Way ternyata dicobakan dibuka kembali sampai akhir November 2007 untuk semua kendaraan karena kemacetan jalan di Jakarta dirasa sudah keterlaluan. Mengapa begitu? Selain filosofi yang terlalu simpel tadi, sumbangan terbesar persoalan lalu-lintas Jakarta justru karena ketidak mampuan (atau tidak berani?) Pemda Jakarta dalam mengontrol dan mengawasi kepemilikan kendaraan pribadi yang pertumbuhannya hampir tidak terkendali. Apakah pembukaan sementara jalur Bus Way bagi kendaraan lain tadi bisa menjawab persoalan? Nyata-nyata tidak. Tanpa jalur Bus Way pun lalu-lintas Jakarta memang sudah parah. Jalur Bus Way hanya salah satu yang memperparah keadaan. Jadi jelas Bus Way tidak memperbaiki keadaan. Padahal pembangunan proyek itu masih akan memakan waktu lama sampai kepada jalur-jalur pengumpan (feeder).

3. Kehadiran Bus Way sama sekali tidak berdampak pada keinginan warga kota untuk tetap memiliki kendaraan pribadi roda dua maupun empat. Kondisi lalu-lintas dan transportasi umum dan mental gengsi dan konsumtif yang tinggi pada terutama warga urban kota menjadikan proyek Bus Way ini sebuah lelucon dibanding jika mereka memiliki kendaraan pribadi. Karena memang Pemda DKI tidak memiliki mekanisme pemaksa pada semua instansi yang berkaitan dan warga kota untuk “meng-gol kan” proyek Bus Way itu sendiri.

4. Kalau Pemda DKI tidak ada keberanian dalam mengontrol dan mengawasi kepemilikan kendaraan pribadi, berapa banyak lagi simpul-simpul kepadatan lalu-lintas yang akan terbentuk? Apa lagi ditambah pembangunan proyek Bus Way, katakanlah akhir tahun 2007 akan selasai, berapa lama lagi waktu yang diperlukan ketika semua jalur-jalur penghubung (feeder) ke jalur Bus Way akan terbentuk? Akankah terjadi penumpukan kendaraan pribadi pada semua ujung-ujung jalur feeder karena (jika) semua pemilik kendaraan pribadi akan beralih ke Bus Way? Logika sederhana saja mengatakan tidak. Karena ketika walaupun sebagian besar warga sudah menggunakan Bus Way, yang berarti terjadi pengurangan kepadatan pada jalur umum bukan Bus Way (itu pun kemungkinannya sangat kecil sekali), maka terus melaju dengan kendaraan pribadi akan lebih menjadi pilihan juga. Alhasil tinggal menunggu waktu, kepadatan akan terbentuk lagi , pada saatnya proyek Bus Way hanya terlihat sebagai sebuah proyek sia-sia yang tidak menjawab persoalan lalu-lintas Jakarta. Seperti halnya ketentuan Three in one yang masih berlaku sekarang.

5. Tidak adanya mekanisme yang mampu “menahan” secara terkontrol aliran kendaraan dan manusia dari dan menuju Jakarta terhadap kota-kota satelit di sekeliling Jakarta sama saja dengan menantang persoalan lalu-lintas Jakarta untuk tidak pernah selesai sampai kapan pun. Kecuali kalau mental pejabat Pemda sudah tidak lagi “yang penting ada proyek dulu, hasilnya baik atau tidak itu soal belakangan” maka itu akan menjadi pertanda baik bagi Jakarta. Jakarta memang bukan kota yang dibangun dengan “otak dan niat baik” tapi oleh mental korup dan pungli yang sudah berlangsung sejak lama. Blue print tata ruang kota tinggalah hanya diatas kertas saja. Proyek Bus Way sama sekali tidak bisa untuk menjawab persoalan itu.

6. Kondisi lalu-lintas hari ini sampai dengan terbentuknya jalur-jalur feeder Bus Way masih memerlukan waktu yang cukup panjang, dan tingkat kesulitan teknis yang tidak mudah. Waktu yang diperlukan untuk itu akan dapat membuat Jakarta sempat terjadi lebih dulu kelumpuhan mobilitas ekonomi yang parah bila saat ini saja Jakarta masih memainkan percobaan-percobaan solusi yang selalu bersifat ad-hock bagi persoalan-persoalan Jakarta terutama masalah lalu-lintas kota. Karena Jakarta tidak mungkin akan maju dengan hanya mengandalkan kemajuan telekomunikasi melalui telephone, faximili atau e-mail saja tanpa terjadinya mobilitas manusia dan barang. Ketika mobilitas manusia dan barang semakin stagnan maka tidak ada dinamika ekonomi. Ketika dinamika ekonomi tidak terjadi, apa lagi yang diharapkan dari Jakarta?

Ketika mental korup dan pungli masih menjadi panglima di negeri ini, maka di Jakarta-lah yang secara sosial-ekonomi akan terjadi stagnasi mobilitas ekonomi lebih dulu. Pada saat itu, jangankan investor asing, pemodal lokal pun akan menghadapi kondisi yang tidak mungkin dapat berkembang, karena ekonomi biaya tinggi. Maka secara keseluruhan, Jakarta dan bangsa ini akan jatuh justru oleh pemimpin- pemimpinya sendiri yang telah memegang jabatanya tanpa pikiran dan hati dan tanggung jawab, tapi oleh mental-mental korup dan pungli “yang penting ada proyek dulu, hasilnya baik atau tidak urusan belakang”. Maka jadilah Jakarta seperti hari ini…

( Jakarta, 8 November 2007 )

Leave a comment